Kamis, 30 Mei 2013
Senin, 27 Mei 2013
LARANGAN KERAS UNTUK BERGIBAH MENGGUNJING DAN BERBURUK SANGGKA SESAMA MUSLIM
Pada suatu ketika menghadaplah seorang
wanita yang sangat pendek badannya, menghadap kepada Nabi dalam suatu
kepentingan, ketika wanita itu sudah keluar, maka Aisyah r.a berkata :
“Betapa pendek wanita itu”. Mendengar perkataan Aisyah r.a, maka Rasul bersabda : “Wahai Aisyah, kamu telah menggunjingnya tentang kelemahan fisik wanita itu sehingga termasuk menyebarkan fitnah.
“Betapa pendek wanita itu”. Mendengar perkataan Aisyah r.a, maka Rasul bersabda : “Wahai Aisyah, kamu telah menggunjingnya tentang kelemahan fisik wanita itu sehingga termasuk menyebarkan fitnah.
Dikisahkan
dari Amr bin Dinar, bahwa sesungguhnya di kota Madinah ada seorang
lelaki yang memiliki saudara perempuan yang tinggal di pinggiran kota
Madinah. Pada suatu hari saudaranya itu menderita sakit, ia datang untuk
menjenguknya dan menemukan ia sudah meninggal dunia, iapun mengusungnya
sampai ke pemakaman sampai mayit dikebumikan telah selesai, kemudian
iapun segera pulang kembali kepada keluarganya ke rumahnya, namun
setelah sampai di rumahnya ia teringat bahwa kantong punya sahabatnya
telah jatuh ke liang kubur dan tertanam bersama mayat saudaranya itu.
Karena
mengingat isi kantong itu sangat penting, maka ia bermaksud akan
membongkar kuburan saudaranya itu. Setelah mendapatkan izin dari ibunya
dan saudaranya ia segera membongkar kuburan, lalu ia mengangkat sebagian
tutup liang lahat dengan sangat hati-hati. “Celaka, aduh celaka ………!”
Kata orang itu setelah melihat keadaan liang lahat, maka yang
mengikutinya segera berkata : “Ada apakah gerangan, sehingga engkau
kelihatan kaget dan bilang celaka, ceritakanlah kepadaku apa yang
terjadi dengan saudaramu itu?” Maka berceritalah ia, bahwa di dalam
liang kubur tampak kobaran api yang sedang menyala-nyala, lalu ia segera
menemui ibunya untuk menanyakan perbuatan apa yang telah diperbuat oleh
saudara perempuannya itu, ibunya berkata : “Saudarimu itu selalu
mendatangi pintu tetangganya dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh
tetangganya itu (ngerumpi), kemudian ia menyebarkan fitnah kepada para
tetangganya yang lain. Setelah mendengarkan penjelasan sang ibu, maka
lelaki itu segera mengetahui bahwa saudarinya itu suka ngerumpi,
sehingga menyebabkan ia mendapatkan siksa kubur. Itulah akibat orang
yang suka menggunjing dan ngerumpi dan menyebarkan fitnah yang
kelihatannya sepele, tetapi sangat mengasyikkan dan menyenangkan.
Sesungguhnya
berbicara itu mudah, tetapi berat mempertanggungjawabkannya. Mulut ini
bagaikan moncong teko yang hanya mengeluarkan isi teko. Apapun yang kita
katakan lebih menunjukkan siapa sebenarnya diri kita. Apapun yang kita
katakan lebih menunjukkan siapa sebenarnya diri kita. Misalnya,
penghinaan kita terhadap seseorang lebih menunjukkan kehinaan diri kita
sendiri dibandingkan kehinaan orang yang kita hina. Kritik dan koreksi
yang kita sampaikan kepada seseorang kalau tidak hati-hati lebih
memperlihatkan kedengkian kita.
Perkataan
yang baik adalah pembuktian kemusliman seseorang. Hendaknya setiap
orang memastikan bahwa kata-kata yang akan diucapkannya benar-benar
baik. Apabila kita tidak yakin akan dapat mengeluarkan kata-kata yang
baik, diam itu lebih baik. Berkata yang baik tentunya akan lebih
bermanfaat dibandingkan diam. Akan Tetapi, menghindari akibat dari
perkataan yang kurang baik akan lebih utama dibandingkan kita memaksakan
berbicara yang akan berakibat jelek kepada diri sendiri maupun orang
lain.
Alangkah ruginya apabila waktu
kita habis untuk sekedar ngobrol hal-hal yang tidak penting. Terkadang
kita tidak bisa memastikan apakah pembicaraan yang kita lakukan itu
bermanfaat atau tidak. Bahkan, sering kita tidak berdaya untuk
menghindar dari pembicaraan yang berisi fitnah, gunjingan dan
permusuhan. Semoga Allah SWT mengkaruniakan kepada kita kemampuan untuk
menjaga lisan agar selalu berbicara yang bermanfaat.
Berdasarkan
Al-Qur’an dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 yang berkaitan dengan larangan
berburuk sangka dan menggunjing berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Hujuraat ayat 11 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Hujuraat ayat 12 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat An-Nuur ayat 15 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah benar”.
Artinya : “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah benar”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat An-Nuur ayat 23 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab yang besar”.
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab yang besar”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Israa ayat 36 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”.
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Fath ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali”.
Artinya : “Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Fath ayat 12 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “……………Dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa”.
Artinya : “……………Dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Qaaf ayat 18 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Artinya : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Qalam ayat 10 – 11 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”.
Artinya : “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Humazah ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.
Artinya : “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an berdasarkan surat Al-Muthaffifin ayat 29 – 31 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila Orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira”.
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila Orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira”.
Berdasarkan Al-Hadits yang berkaitan dengan ghibah yaitu :
Artinya : “Berhati-hatilah terhadap purbasangka. Sesungguhnya purbasangka adalah ucapan paling bodoh”. (H.R. Al-Bukhari)
Artinya : “Barangsiapa mengintai-intai keburukan saudaranya semuslim, maka Allah akan mengintai- intai keburukannya. Barangsiapa diintai keburukannya oleh Allah, maka Allah akan mengungkitnya (membongkarnya) walaupun dia melakukan itu di dalam (tengah-tengah) rumahnya”. (H.R. Ahmad)
Artinya : “Sesungguhnya bila kamu mengintai-intai keburukan orang, maka kamu telah merusak mereka atau hampir merusak mereka”. (H.R. Ahmad)
Artinya : “Berhati-hatilah terhadap purbasangka. Sesungguhnya purbasangka adalah ucapan paling bodoh”. (H.R. Al-Bukhari)
Artinya : “Barangsiapa mengintai-intai keburukan saudaranya semuslim, maka Allah akan mengintai- intai keburukannya. Barangsiapa diintai keburukannya oleh Allah, maka Allah akan mengungkitnya (membongkarnya) walaupun dia melakukan itu di dalam (tengah-tengah) rumahnya”. (H.R. Ahmad)
Artinya : “Sesungguhnya bila kamu mengintai-intai keburukan orang, maka kamu telah merusak mereka atau hampir merusak mereka”. (H.R. Ahmad)
Rasulullah
melarang umatnya meneliti dan mencari-cari kesalahan orang lain. Sebab
yang demikian hanya akan menghancurkan kerukunan dan kebersamaan kaum
muslimin. Di sisi lain ditegaskan bahwa seburuk-buruk suatu kaum adalah
kaum yang di antara mereka ada seorang mukmin yang berjalan di kalangan
mereka dengan cara sembunyi-sembunyi dan senantiasa meneliti serta
mencari-cari kesalahan orang lain.
Artinya : “Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain”. (H.R. Adailami)
Artinya : “Celaka bagi orang yang bercerita kepada satu kaum tentang kisah bohong dengan maksud agar mereka tertawa, Celakalah dia …… celaka dia”. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
Artinya : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam”. (H.R. Bukhari-Muslim)
Artinya : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya”. (H.R. Athbrani dan Al-Baihaqi)
Artinya : “Tahukah kamu apa ghibah itu? Para sahabat menjawab : “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : “Menyebut-nyebut sesuatu tentang saudaramu hal-hal yang dia tidak sukai”. (H.R. Muslim)
Artinya : “Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk”. (H.R. Al-Bukhari dan Al-Hakim)
Artinya : “Rasulullah saw pernah ditanya : “Ya Rasulullah, apakah tebusan mengumpat?” Jawab Rasulullah : “Hendaklah engkau beristighfar (memohonkan ampunan) kepada Allah bagi orang yang engkau umpat”. (H.R. Thahawi)
Artinya : Dari Hudzaifah r.a, dia telah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak akan pernah masuk surga orang yang suka mengumpat”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Artinya : “Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain”. (H.R. Adailami)
Artinya : “Celaka bagi orang yang bercerita kepada satu kaum tentang kisah bohong dengan maksud agar mereka tertawa, Celakalah dia …… celaka dia”. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
Artinya : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam”. (H.R. Bukhari-Muslim)
Artinya : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya”. (H.R. Athbrani dan Al-Baihaqi)
Artinya : “Tahukah kamu apa ghibah itu? Para sahabat menjawab : “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : “Menyebut-nyebut sesuatu tentang saudaramu hal-hal yang dia tidak sukai”. (H.R. Muslim)
Artinya : “Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk”. (H.R. Al-Bukhari dan Al-Hakim)
Artinya : “Rasulullah saw pernah ditanya : “Ya Rasulullah, apakah tebusan mengumpat?” Jawab Rasulullah : “Hendaklah engkau beristighfar (memohonkan ampunan) kepada Allah bagi orang yang engkau umpat”. (H.R. Thahawi)
Artinya : Dari Hudzaifah r.a, dia telah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak akan pernah masuk surga orang yang suka mengumpat”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
memberikan solusi kepada umatnya yang terlanjur mengumpat orang lain.
Yakni dengan memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang
diumpatnya. Dengan cara demikian, maka orang yang mengumpat akan
mendapatkan maghfirah dari Allah SWT. Sebab bila tidak mendapat
maghfirah, orang yang suka mengumpat atau menyebar fitnah pasti masuk
neraka.
Artinya : “Barangsiapa di sisinya diumpat saudaranya sesama muslim kemudian dia tidak menolongnya padahal dia dapat menolongnya, maka Allah akan merendahkan dirinya di dunia dan di akhirat”. (H.R. Baghawi dan Ibnu Babawaih)
Artinya : “Barangsiapa mengembalikan kehormatan saudaranya lantaran diumpat, maka Allah berhak untuk memerdekakan dirinya dari neraka”. (H.R. Baihaqi)
Bila ada seorang muslim mengumpat orang lain, maka orang yang berada di sisinya wajib untuk mencegahnya. Yang demikian berarti dia telah memberikan pertolongan kepada saudaranya sesama muslim. Namun bila tidak mencegahnya, berarti dia rela direndahkan martabatnya oleh Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, bila dia memberikan pertolongan dengan cara mencegah, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya di dunia dan di akhirat. Bahkan berhak dimasukkan ke dalam surga. Sedang bila yang diumpat orang fasik, maka tidak perlu membelanya.
Artinya : “Barangsiapa di sisinya diumpat saudaranya sesama muslim kemudian dia tidak menolongnya padahal dia dapat menolongnya, maka Allah akan merendahkan dirinya di dunia dan di akhirat”. (H.R. Baghawi dan Ibnu Babawaih)
Artinya : “Barangsiapa mengembalikan kehormatan saudaranya lantaran diumpat, maka Allah berhak untuk memerdekakan dirinya dari neraka”. (H.R. Baihaqi)
Bila ada seorang muslim mengumpat orang lain, maka orang yang berada di sisinya wajib untuk mencegahnya. Yang demikian berarti dia telah memberikan pertolongan kepada saudaranya sesama muslim. Namun bila tidak mencegahnya, berarti dia rela direndahkan martabatnya oleh Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, bila dia memberikan pertolongan dengan cara mencegah, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya di dunia dan di akhirat. Bahkan berhak dimasukkan ke dalam surga. Sedang bila yang diumpat orang fasik, maka tidak perlu membelanya.
Rasulullah
sangat membenci orang yang mengumpat, hingga beliau menegaskan bahwa
kata-kata umpatan itu apabila dicampur dengan air laut akan
mencemarkannya. Ini adalah gambaran tentang betapa bahaya dan besarnya
dosa mengumpat. Sebab mengumpat dapat membatalkan pahala amal kebajikan
seseorang. Di sisi lain, setan masih merasa mampu dan besar harapan
untuk menghancurkan umat manusia sepanjang masih ada kesempatan untuk
membuat mereka bersedia mengumpat sesamanya. Padahal ketika melihat
Allah disembah oleh umat manusia dengan pelaksanaan shalat, setan sudah
merasa putus asa. Itulah bahaya mengumpat, menggunjing, berprasangka
buruk dan meneliti kesalahan orang lain.
Artinya : “Dari Abi Musa r.a, dia telah berkata : “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah : “Ya Rasulullah, muslim manakah yang lebih utama?” Jawab Rasulullah : “Orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Artinya : “Dari Abi Musa r.a, dia telah berkata : “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah : “Ya Rasulullah, muslim manakah yang lebih utama?” Jawab Rasulullah : “Orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Orang
yang beriman sempurna akan selalu menjaga ucapan dan perbuatannya
jangan sampai merugikan dan menyakitkan orang lain. Bila tidak bisa
berbicara baik, dia akan lebih memilih berdiam diri. Sebab suka mencela,
mengutuk, berlaku keji dan berkata kotor bukanlah kebiasaan orang yang
beriman.
Orang yang menutup ‘aib
orang lain di dunia, niscaya Allah menutup ‘aibnya pula kelak di hari
kiamat. Hindarilah menggunjing, karena menggunjing itu lebih berat
(siksaannya) dari berzina”. Para sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, apa
alasannya menggunjing itu lebih berat dari berzina? Nabi saw bersabda :
“Sesungguhnya seorang lelaki yang telah berzina, lalu dia mau bertobat,
maka Allah tidak akan mengampuninya sebelum orang yang digunjingkannya
itu mengampuninya”.
“Menggunjing itu
memang lezat rasanya di dunia, tetapi dapat mengantarkannya ke neraka
di akhirat kelak”. Rasulullah saw ketika ditanya tentang kebanyakan
hal-hal yang memasukkan manusia ke dalam surga, beliau menjawab : “Takwa
kepada Allah dan akhlak yang baik!” Dan ketika beliau ditanya lagi
tentang kebanyakan hal-hal yang dapat memasukkan manusia ke dalam
neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan!”. (H.R. Tirmidzi)
Dari
Abu Hurairah r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda :
“Takutlah kamu terhadap prasangka. Sebab sesungguhnya prasangka adalah
sedusta-dusta pembicaraan. Janganlah kamu mencari-cari dan meneliti
kesalahan orang lain, janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu
saling membenci dan janganlah kamu saling belakang membelakangi .
Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana Allah telah
memerintahkan kepadamu. Orang muslim adalah saudara muslim yang lain,
tidak saling menzhalimi, tidak saling merendahkan dan tidak saling
menghina. Takwa adalah di sini, takwa adalah di sini”, sambil Rasulullah
menunjuk ke a rah dada.
Kemudian
melanjutkan sabdanya : “Cukuplah keburukan bagi seseorang dengan
menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim adalah haram atas
muslim yang lain akan darah, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah
tidak melihat kepada tubuhmu dan rupamu, tetapi Allah melihat kepada
hatimu”. (H.R. Muslim). Rasulullah secara tegas memerintahkan kepada
umatnya agar menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara dan melarang
mereka saling mencari-cari dan meneliti kesalahan orang lain, saling
berlomba-lomba kemewahan, saling mendengki, saling membenci, saling
membelakangi, saling menzhalimi, saling merendahkan, saling menghina,
saling menjerumuskan, saling mendiamkan dan membeli belian orang lain.
Sebab semua itu merupakan akhlak tercela yang tidak pantas dimiliki oleh
seorang muslim. Rasulullah mengingatkan pula bahwa antar sesama muslim
berkewajiban untuk saling menjaga darah, kehormatan dan harta di antara
mereka. Dengan cara demikian, mereka tidak akan pernah saling menghina
maupun menzhalimi. Yang perlu dicatat, bahwa Allah sama sekali tidak
akan pernah melihat penampilan seseorang, baik bodi tubuh maupun paras
muka, tetapi Allah akan selalu memperhatikan hati seseorang. Sebab di
sanalah ketakwaan kepada Allah berada.
Dari
Watsilah bin Al Asqa’ r.a, dia telah berkata : Rasulullah saw telah
bersabda : “Janganlah engkau menampakkan kegembiraan terhadap saudaramu
yang mendapat cobaan. Sebab boleh jadi Allah menyayanginya, kemudian
memberi cobaan kepadamu”. (H.R. Tirmidzi). Ketika orang lain mendapatkan
musibah, kita tidak diperbolehkan menunjukkan kegembiraan. Karena yang
demikian adalah termasuk akhlak tercela dan penghinaan. Sebab, boleh
jadi Allah menguji orang tersebut hanya karena akan diberi kasih sayang
yang lebih besar lagi, sementara dalam kesempatan lain boleh jadi Allah
memberikan ujian yang lebih berat kepada kita.
Dari
Ibnu Abbas r.a dari Nabi saw, beliau telah bersabda : “Barangsiapa
mengaku bermimpi dengan suatu mimpi yang tidak pernah dilihatnya, maka
dia akan dituntut untuk mengikat antara dua butir gandum dan pasti dia
tidak akan pernah dapat mengerjakannya. Barangsiapa mendengarkan
pembicaraan suatu kaum sedang mereka merasa benci terhadap perilaku
tersebut, maka pada hari kiamat nanti akan ditumpahkan cairan timah pada
kedua telinganya. Dan barangsiapa menggambar suatu gambar, maka dia
akan disiksa dan dibebani untuk meniupkan ruh padanya, padahal dia tidak
akan pernah dapat meniupkannya”. (H.R. Bukhari)
Orang
yang berdusta, orang yang mengintai pembicaraan orang lain dan orang
yang menggambar berhala sesembahan, maka akan mendapatkan siksaan yang
berat dari sisi Allah. Dia akan dituntut untuk melakukan sesuatu yang
mustahil bisa dilakukan, lubang telinganya disiram dengan cairan timah
dan disuruh untuk menghidupkan berhala atau gambar yang digambarnya
sebagai sesembahan. Yang demikian adalah merupakan siksaan yang sangat
pedih lagi berat. Pengertian menggambar suatu gambar adalah membuat
suatu gambar benda atau patung yang disediakan untuk beribadah kepada
selain Allah. Misalnya : menggambar salib kemudian disembah atau membuat
berhala kemudian disembah. Sebab hal tersebut akan memudahkan
perkembangan penyembahan terhadap berhala. Karena itu, Islam
melarangnya. Lain halnya kalau gambar itu hanya bernilai seni dan
dinikmati keseniannya, bukan untuk dipuja dan disembah, maka tidak ada
larangan.
Dari Abu Hurairah r.a,
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda : “Adakah kalian
mengetahui, apakah mengumpat itu?” Para sahabat menjawab : “Allah dan
RasulNya lebih mengetahui”. Rasulullah kemudian bersabda : “Engkau
menuturkan sesuatu tentang saudaramu yang tidak menyenangkan”. Lalu
ditanyakan : “Bagaimanakah pendapatmu jika apa yang aku katakan itu
adalah terdapat pada saudaraku?” Jawab Rasulullah : “Jika apa yang
engkau katakan terdapat pada saudaramu, berarti engkau telah
mengumpatnya. Dan jika apa yang engkau katakan tidak terdapat pada
saudaramu, berarti engkau telah membuat kedustaan terhadapnya”. (H.R.
Muslim)
Mengumpat adalah bagian dari
akhlak tercela. Pengertian mengumpat adalah mengatakan sesuatu tentang
orang lain yang apabila dia mendengar merasa tidak senang, sekalipun apa
yang dikatakan itu benar adanya. Sebab kalau apa yang dikatakan tidak
benar adanya, maka yang demikian adalah termasuk perbuatan dusta, bukan
mengumpat.
Dari Anas r.a, dia telah
berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Ketika aku dimi’rajkan, aku
melewati sekelompok kaum yang yang mempunyai kuku dari tembaga yang
untuk melukai wajah dan dada mereka. Kemudian aku bertanya kepada Jibril
: “Siapakah mereka itu, wahai Jibril?” Jawab Jibril : “Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging manusia dan menjatuhkan kehormatan
mereka”. (H.R. Abu Dawud) Orang yang senantiasa mengumpat orang lain dan
mencari-cari kesalahannya akan disiksa oleh Allah dengan siksaan yang
berat. Yakni mencakar-cakar muka dan dada sendiri dengan kuku yang
terbuat dari tembaga.
Dari Ibnu
Abbas r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah berjalan melewati 2
(dua) kuburan, kemudian beliau bersabda : “Sesungguhnya 2 (dua) orang
ahli kubur itu disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Ya,
benar. Sesungguhnya dosa itu adalah besar. Salah seorang di antara
keduanya adalah berjalan di muka bumi dengan menyebarkan fitnah
(mengumpat). Sedang salah seorang yang lain tidak bertirai ketika
kencing”. (H.R. Bukhari dan Muslim). Orang yang senantiasa menyebarkan
fitnah atau mengumpat sesama muslim kelak dikubur akan mendapatkan siksa
yang berat. Demikian pula halnya orang yang tidak hati-hati ketika
kencing, sehingga percikan air kencingnya mengenakan tubuh atau pakaian.
Dari Sahl bin Sa’ad r.a, dia telah berkata : Rasulullah saw telah
bersabda : “Barangsiapa memberikan jaminan kepadaku terhadap apa yang
berada di antara dua rahangnya dan apa yang berada di antara dua
pahanya, maka aku memberi jaminan surga baginya”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Seseorang yang mampu
menjaga lisannya dari perkataan bohong, menghina dan memfitnah serta
menjaga kemaluan dari perbuatan zina, maka Rasulullah memberi jaminan
surga baginya. Itulah kemuliaan dan ketinggian derajat memelihara lisan
dan kemaluan. Dari Aisyah r.a, dia telah berkata : Rasulullah saw telah
bersabda : “Janganlah kamu memaki-maki orang-orang yang sudah meninggal.
Sebab mereka telah sampai kepada apa yang mereka lakukan”. (H.R.
Bukhari). Mencaci maki dan menghina orang yang sudah meninggal adalah
bagian dari akhlak tercela. Karena itu, harus dijauhi oleh setiap
muslim. Sebab orang yang sudah meninggal pada hakikatnya sudah sangat
dekat dengan keridhaan Allah, sehingga tidak selayaknya dicaci maki.
Ada 4 (empat) sebab mengapa orang menggunjing (ghibah) orang lain :
- Karena alasan meredakan amarah diri. Maksudnya, ketika ada seseorang yang membuat marah, maka ia lantas menggunjing orang tersebut hanya karena ingin meredakan amarah dirinya.
- Hanya karena ingin menyesuaikan diri dengan teman-temannya atau dengan alasan menjaga keharmonisan.
- Ingin mengangkat diri sendiri dan menjelek-jelekkan orang lain.
- Menggunjing untuk canda dan lelucon. Dia menggunjing seseorang dengan maksud membuat orang-orang tertawa.
Ada 6 (enam) perkara yang tidak mengharamkan bergunjing yaitu :
- Dalam rangka kezaliman agar supaya dapat dibela oleh seseorang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
- Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada Penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
- Di dalam Mahkamah, seorang yang mengajukan perkara boleh melaporkan kepada Mufti atau Hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang Penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
- Memberi peringatan kepada kaum muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang, misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi pekertinya atau mempunyai penyakit yang menular.
- Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum.
- Mengenalkan seseorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti a’war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.
Kesimpulan :
- Berita kejelekan orang lain bukanlah untuk disebarluaskan, tetapi ini adalah bahan untuk introspeksi diri.
- Berburuk
sangka, menggunjing, menghina, memfitnah, menertawakan, mencela dan
mengolok-olok serta meneliti kesalahan orang lain adalah bagian dari
akhlak tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebab akan
menghancurkan keimanan yang telah tertanam di dalam hati dan hanya akan
mengantarkan seseorang mendapatkan laknat Allah sehingga menjadi
penghuni neraka.
Minggu, 26 Mei 2013
Sejarah Pesantren di Indonesia
Sejarah Pesantren di Indonesia
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan pondok pesantren tidak
lepas dari penyebaran Islam di bumi nusantara, sedangkan asal-usul
sistem pendidikan pondok pesantren dikatakan Karel A. Steenberink
peneliti asal Belanda berasal dari dua pendapat yang berkembang yaitu;
pertama dari tradisi Hindu. Kedua, dari tradisi dunia Islam dan Arab itu
sendiri.[1]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi Hindu berargumen bahwa dalam dunia Islam tidak ada system pendidikan pondok dimana para pelajar menginap di suatu tempat tertentu disekitar lokasi guru. I.J. Brugman dan K. Meys yang menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti; penghormatan santri kepada kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada para guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren tidak terdapat di Negara-negara Islam.[2]
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa system pondok pesantren merupakan tradisi dunia Islam menghadirkan bukti bahwa di zaman Abasiah telah ada model pendidikan pondokan. Muhammad Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran individual seperti sorogan, serta system pengajaran yang dimulai dengan baljar tata bahasa Arab ditemukan juga di Bagdad ketika menjadi pusat ibu kota pemerintahan Islam. Begitu juga mengenai tradisi penyerahan tanah wakaf oleh penguasa kepada tokoh religious untuk dijadikan pusat keagamaan.[3]
Terlepas dari perbedaan para pakar mengenai asal tradisinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa pesantren adalah warisan budaya para pendahulu. Jika pun tradisi pesantren berasal dari Hindu-India atau Arab-Islam, bentuk serta corak pesantren Indonesia memiliki ciri khusus yang dengannya kita bisa menyatakan bahwa pesantren Indonesia adalah asli buatan Indonesia, indigenous.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sejarah pesantren setua sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa tokoh yang pertama kali mengakflikasikan system pendidikan pesantren di Indonesia? Nama Maulana Malik Ibrahim pioneer Wali Songo disebut sebagai tokoh pertama yang mendirikan pesantren.
Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik adalah seorang ulama kelahiran Samarkand, ayahnya Maulana Jumadil Kubro keturunan kesepuluh dari Husein bin Ali. Pada tahun 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Champa.
Perjalanan Maulana Malik Ibrahin dari Champa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para penduduknya. Di Jawa, beliau memulai hidup dengan membuka warung yang menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Untuk melakukan proses pendekatan terhadap warga, Maulana Malik Ibrahim juga membuka praktek ketabiban tanpa bayaran. Kedermawanan serta kebaikan hati, pedagang pendatang ini membuat banyak warga bersimpati kemudian menyatakan masuk Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.
Pengikut Sunan Gresik semakin hari semakin bertambah sehingga rumahnya tidak sanggup menampung murid-murid yang datang untuk belajar ilmu agama Islam. Menyadari hal ini, Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenal sebagai Kakek Bantal mulai mendirikan bangunan untuk murid-muridnya menuntut ilmu. Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Indonesia.[4]
Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pesantren kedua di sana.[5] Dari pesantren Ampel Denta ini lahir santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren di daerah lain, diantaranya adalah Syekh Ainul Yakin yang mendirikan pesantren di desa Sidomukti, Selatan Gresik dan Maulana makdum Ibrahim yang mendirikan pesantren di Tuban.
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi Hindu berargumen bahwa dalam dunia Islam tidak ada system pendidikan pondok dimana para pelajar menginap di suatu tempat tertentu disekitar lokasi guru. I.J. Brugman dan K. Meys yang menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti; penghormatan santri kepada kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada para guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren tidak terdapat di Negara-negara Islam.[2]
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa system pondok pesantren merupakan tradisi dunia Islam menghadirkan bukti bahwa di zaman Abasiah telah ada model pendidikan pondokan. Muhammad Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran individual seperti sorogan, serta system pengajaran yang dimulai dengan baljar tata bahasa Arab ditemukan juga di Bagdad ketika menjadi pusat ibu kota pemerintahan Islam. Begitu juga mengenai tradisi penyerahan tanah wakaf oleh penguasa kepada tokoh religious untuk dijadikan pusat keagamaan.[3]
Terlepas dari perbedaan para pakar mengenai asal tradisinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa pesantren adalah warisan budaya para pendahulu. Jika pun tradisi pesantren berasal dari Hindu-India atau Arab-Islam, bentuk serta corak pesantren Indonesia memiliki ciri khusus yang dengannya kita bisa menyatakan bahwa pesantren Indonesia adalah asli buatan Indonesia, indigenous.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sejarah pesantren setua sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa tokoh yang pertama kali mengakflikasikan system pendidikan pesantren di Indonesia? Nama Maulana Malik Ibrahim pioneer Wali Songo disebut sebagai tokoh pertama yang mendirikan pesantren.
Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik adalah seorang ulama kelahiran Samarkand, ayahnya Maulana Jumadil Kubro keturunan kesepuluh dari Husein bin Ali. Pada tahun 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Champa.
Perjalanan Maulana Malik Ibrahin dari Champa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para penduduknya. Di Jawa, beliau memulai hidup dengan membuka warung yang menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Untuk melakukan proses pendekatan terhadap warga, Maulana Malik Ibrahim juga membuka praktek ketabiban tanpa bayaran. Kedermawanan serta kebaikan hati, pedagang pendatang ini membuat banyak warga bersimpati kemudian menyatakan masuk Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.
Pengikut Sunan Gresik semakin hari semakin bertambah sehingga rumahnya tidak sanggup menampung murid-murid yang datang untuk belajar ilmu agama Islam. Menyadari hal ini, Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenal sebagai Kakek Bantal mulai mendirikan bangunan untuk murid-muridnya menuntut ilmu. Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Indonesia.[4]
Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pesantren kedua di sana.[5] Dari pesantren Ampel Denta ini lahir santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren di daerah lain, diantaranya adalah Syekh Ainul Yakin yang mendirikan pesantren di desa Sidomukti, Selatan Gresik dan Maulana makdum Ibrahim yang mendirikan pesantren di Tuban.
RISALAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Nabi Besar
Muhammad SAW lahir pada 12 Rabiul Awal tahun gajah. Menurut Muhammad Pasha,
akhli ilmu falak Mesir masa itu bertepatan dengan 20/22 April 571 M. Masa itu
dikenal sebagai masa jahiliyah. Masa jahiliyah merupakan masa di mana kemampuan
manusia di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni, sosial, budaya, niaga,
politik/kekuasaan tidak dibimbing oleh nurani dan iman yang lurus. Oleh sebab
itu pada periode awal yang dibenahi terlebih dahulu adalah masalah aqidah.
Ayat-ayat yang turun pada periode awal (Makkiyah) adalah yang
berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala serta pengajaran dan budi
pekerti. Sering pula masyarakat jahiliah diartikan sebagai bodoh. Hanya saja
bila jahiliyah diartikan bodoh, maka sesungguhnya dari mereka telah banyak yang
menguasai bidang seni dan sastra, niaga (bisnis), sosial, kekuasaan, siasat
perang, sudah terdapat diantara mereka yang mengembara menuntut ilmu hingga
sampai ke Madain di Persia (Iran sekarang), rasulullah pernah bersabda
‘tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina’, jadi mobilitas masyarakat masa
itu sudah cukup tinggi, hingga pula ke negeri Syam (di Siria, Libanon,
Palestina sekarang), Yaman dan lain-lain. Persoalannya adalah nurani dan iman
yang lurus yang tidak mereka miliki. Teringatlah penulis pada satu buku yang
ditulis oleh salah seorang ulama besar yang berjudul ‘Jahiliyah Modern’.
Ayat yang pertama kali turun adalah Iqra’, ‘bacalah’, tapi bila hanya sekedar membaca tak terbilang orang-orang kala itu yang telah pandai membaca, baik membaca dalam pengertian membaca atas tulisan ataupun dalam kemampuan membaca fenomena alam (ayat-ayat kauniyah). Namun kelanjutan firman Allah tersebut adalah ‘bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu’, namun bila hanya sampai di situ maka sesungguhnya baik masyarakat Mekkah atau Arab pada umumnya, Persia, India dan lain-lain telah mengenal tuhan. Ingat akan latta, uzza, manata (tiga berhala terbesar) dan seterusnya bagi masyarakat Mekkah kala itu, bagi bangsa Persia menyembah akan api (majusi), masyarakat India atas segala yang luar biasa seperti sungai besar, pohon besar ataupun patung dan sebagainya. Melainkan Alah berfirman, ‘bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan’, jadi bukan tuhan yang diciptakan, baik yang diciptakan oleh sesama makhluk (khususnya manusia), seperti patung-patung dan sebagainya maupun yang diciptakan oleh Tuhan (Allah), seperti gunung-gunung, matahari, api dan sebagainaya.
Pada masa itu pula kegelapan telah menyelimuti dunia seutuhnya. Negeri-negeri yang dahulu menguasai peradaban besar seperti Romawi, Yunani, Mesir, Persia, India, Cina telah terpuruk. Abad-abad itulah yang dikenal dalam sejarah sebagai abad pertengahan (middle ages), yang merupakan abad kegelapan.
Fakta sejarah menunjukkan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW telah menebarkan sinar pada dunia yang telah diselimuti kabut kegelapan, Islam telah mampu bergerak membawa peradaban yang cemerlang. Sayang pada masa kemudiannya sinar itu memudar, benarlah apa yang dikatakan salah seorang orientalis penulis buku ‘Humanisme Dalam Islam’, yang menyatakan bahwa kegagalan yang terjadi janganlah dinisbatkan pada Islam, melainkan hendaknya dinisbatkan pada ummat Islam, buya Hamka menulis buku berjudul ‘Sejarah Ummat Islam’ (4 jilid), beliau tidak menggunakan judul ‘Sejarah Islam’, sebab menurutnya banyak pula kedhaliman yang terjadi, misalnya kita buka sejarah pada tragedi di Padang Karbela, padahal itu bukan Islam, melainkan oleh sebab perilaku Ummat Islam.
Islam telah menarik kearah fithrah, kebutuhan dasar manusia adalah tuntunan hati, pola interaksi serta pola aturan. Maka itu Islam telah meluruskannya atas aqidah, akhlak dan syaria’ah, yang ketiganya merupakan satu rangkaian kesatuan. Benarlah apa yang dinyatakan seorang orientalis yang bernama HAR Gib bahwa Islam bukan hanya sekedar sistem teologi, melainkan meliputi peradaban yang lengkap. Teringatlah pula akan kisah salah seorang jurnalis Austria yang bernama Leopard Weis (waktu itu), pada saat ia meliput berita di timur tengah, ternyata ia sempat mengamati perilaku ummat Islam di saat shalat, lalu ia bertanya pada salah seorang imam masjid, ia bertanya, ‘wahai tuan, mengapa orang Islam dalam menyembah Tuhan kok macam begitu, berdiri, membungkuk, berjongkok dan seterusnya, bukankah Tuhan maha tahu kendatipun yang ada dalam hati manusia?, mengapa mesti macam-macam?; sang imam masjid menjawab ‘wahai tuan, bila Tuhan menciptakan manusia terdiri dari jiwa dan raga, maka apakah salah bila manusia itu menyembah Tuhan dengan jiwa dan raganya pula? (illustrasi bebas dari penulis). Atas jawaban sang imam masjid tadi kemudian menjadi bahan renungan L. Weis, dan kemudiannya ia memeluk agama Islam dan merubah nama menjadi Muhammad Assad. Allah berfirman yang artinya ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q:5:3)
Aqidah
Aqidah merupakan sistem keyakinan. Sistem keyakinan disebut dengan iman. Pokok-pokok keyakinan dalam Islam merupakan rukun iman yang terangkum dalam enam perkara, yaitu iman kepada Allah, para Malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Nabi dan Rasul Nya, Hari Akhir serta takdir baik dan takdir buruk’. (riwayat Buhari dan Muslim).
Aqidah merupakan roh, dari sinilah semua komponen ajaran agama Islam digerakkan, sebab bagaimana kita akan shalat, puasa, zakat, haji kalau iman kita kepada Allah, para malaikat Nya, kitab Nya, Nabi dan Rasulnya, hari akhir tidak ada?, bagaimana kita harus menjalani kehidupan kalau iman kita kepada qaha’ dan qadar Nya tidak ada?, dengan iman kepada takdir baik dan takdir buruk kita akan tahu tentang posisi kita, misalnya kita kaya, miskin, cobaan-cobaan yang menimpa kita dan lain-lain kita sandarkan kepada Allah SWT, sehingga kita terhindar dari kesombongan dan takabbur ataupun keputusasaan. Kita tidak akan mampu untuk menentukan nasib kita, la haula wa la kuwata illa billah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda, ‘Sesunguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rakhim ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah (sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah yang menggantung) selama itu pula, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan menyampaikan empat perkara, yaitu menulis rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya, akan menjadi orang sengsara atau bahagia’. Orang Jawa bilang ‘ilmu dapat ditiru, sedang nasib tak dapat ditiru’, orang Sumatera bilang ‘untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak’.
Islam mengajarkan tauhid (monotheisme), la ilaha illallah; la tusyrik billah (Q:31:13), tidak boleh mempersekutukannya dengan siapa dan apapun juga, oleh sebab itu maka dosa syirik adalah merupakan dosa besar yang tidak terampunkan, ‘sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu barang siapa dikehendaki-Nya, barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya’ (Q:4:116). ‘Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’ (Q:31:13).
Akhlak
Akhlak adalah keelokan berperilaku dalam berinteraksi, baik dengan al-Khalik maupun dengan sesama mahluk. Rasulullah bersabda ‘sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak’. Contoh akhlak dengan sesama, menggunjing saja (ghibah) tidak boleh (ghibah adalah gossip yang benar adanya, tapi jika seandainya orang yang digossip itu mendengarnya maka ia tidak akan menyukainya. Sedang kalau tidak benar namanya fitnah), jangan berburuk sangka, tebarkan salam, senyum saja dapat pahala, bertolong-tolongan atas kebaikan dan takwa, jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan.
Syariah
Secara termenologi istilah syariah telah diperdebatkan, ada yang hendak membedakannya dengan fiqh dan bahkan juga dengan hukum Islam. Namun dalam kesempatan ini tidak diulas, cukuplah kita gunakan kata syariah sebagai telah umum digunakan. Syariah merupakan system aturan dalam hubungannya dengan al-Halik maupun sesama makhluk dalam kerangka hukum atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat lima kategori hukum, yaitu wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Bidang syariah ini pada perinsipnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu bidang ibadah dan muamalah. Bidang ibadah di sini dimaksudkan sebagai ibadah mahdhah, hubungan transedental, hubungan dengan Allah, bidang ritual. Sedang muamalah adalah merupakan hubungan sesama manusia ataupun dengan makhluk selainnya. Ibadah dalam pengertian luas (ghairu mahdhah) mempunyai pengertian segala perbuatan baik yang disandarkan kepada Allah SWT, segala perbuatan baik yang disandarkan pada Allah SWT ganjarannya adalah pahala. Adapun hukum dasar daripada ibadah mahdhah adalah haram, tidak boleh dikerjakan kecuali terdapat nash yang menentukan lain, seperti misalnya shalat maghrib tiga rakaat, itu telah ada ketentuan dalam nash, bila seandainya karena ingin banyak pahalanya ditambah menjadi 5 rakaat, maka haram hukumnya. Di sinilah letak ketentuan sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, ‘Perkara terjelek adalah perkara yang baru, dan setiap ajaran yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat; dan setiap yang sesat itu tempatnya dalam neraka’. Disabdakan pula oleh Rasulullah SAW, bahwasanya barangsiapa mengerjakan amal tanpa perintah kami, maka tertolak’. Adapun yang berkenaan dengan perkara muamalah hukum dasarnya adalah boleh, kecuali terdapat nash yang menentukan lain, misalnya seperti makan-minum, babi haram sebab terdapat nash yang nenentukan demikian, demikian juga minuman keras, judi dan lain-lain. Di sinilah konteks sabda Rasulullah SAW, ‘engkau lebih tahu tentang urusan duniamu’.
Demikianlah sekedar kita pahami sebagian dasar ajaran Islam. Selanjutnya, untuk melengkapi pembicaraan ini, perlulah kiranya disinggung sedikit perihal problema yang dihadapi di negeri-negeri muslim atau dunia ke-tiga pada umumnya (developing country).
Rata-rata negeri-negeri dunia ke-tiga baru mulai eksis pada memasuki paruh (pertengahan) abad XX, yaitu setelah mampu melepaskan diri dari alam keterjajahan, itupun dengan harus mengalami berbagai rintangan baik dari dalam maupun luar, dari segala bidang, baik itu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahan maupun keamanan, problema sumber daya manusia yang harus membina dari titik nol koma, merajut mereka dari tingkat buta huruf yang amat luas, kesiapan mentalitas dari segala kejutan dalam menerima berbagai pengaruh alam luar yang telah terlebih dahulu melangkah maju, belum lagi problema infra struktur dan lain-lain, kuatnya berbagai tekanan dari bebagai kepentingan. Pertarungan ideologi di negeri-negeri muslim belum juga menjumpai titik temu.
Duania pendidikan pada umumnya diyakini sebagai sarana untuk mendongkrak dengan signifikan untuk melakukan ekslarasi kearah kemajuan, pendidikan dipahami sebagai kata kunci. Dunia barat telah banyak menyumbangkan bea siswa (scholarship) untuk di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan demikian bisalah dipahami bila telah terjadi sinergi yang signifikan (mutual-simbiosis) antara pola pikir timur dan pola pikir barat, antara Islam (agamis) dan barat (sekuler) pada kaum terpelajar muslim, dan mereka merupakan agen pembaharuan pemikiran yang bermuara pula pada aksi (gerakan) baik akademik, sosial, maupun penentu kebijakan. Sementara dunia Islam seperti Timur Tengah, Brunai dan sebagainya, bagaimana sumbangsihnya pada bidang ini?. Menarik pula untuk kita tilik sebuah buku yang ditulis oleh Amir Syakib Arselan yang berjudul ‘Limadza ta’kharal Muslimun wa Limadza takaddama ghairuhum’.
Bagaimana sikap masyarakat dunia ketiga (dhi baca: Islam) di perantauan, khususnya di negara-negara maju?, menarik untuk mengingat dan mengambil manfaat dari pesan Deng Sio Ping yang mengandung falsafah tinggi itu kepada masyarakat Cina perantauan yang intinya yaitu hendaknya menjadi sebagai jembatan penghubung; lita’arafu, untuk merajut kemajuan bersama.
Ayat yang pertama kali turun adalah Iqra’, ‘bacalah’, tapi bila hanya sekedar membaca tak terbilang orang-orang kala itu yang telah pandai membaca, baik membaca dalam pengertian membaca atas tulisan ataupun dalam kemampuan membaca fenomena alam (ayat-ayat kauniyah). Namun kelanjutan firman Allah tersebut adalah ‘bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu’, namun bila hanya sampai di situ maka sesungguhnya baik masyarakat Mekkah atau Arab pada umumnya, Persia, India dan lain-lain telah mengenal tuhan. Ingat akan latta, uzza, manata (tiga berhala terbesar) dan seterusnya bagi masyarakat Mekkah kala itu, bagi bangsa Persia menyembah akan api (majusi), masyarakat India atas segala yang luar biasa seperti sungai besar, pohon besar ataupun patung dan sebagainya. Melainkan Alah berfirman, ‘bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan’, jadi bukan tuhan yang diciptakan, baik yang diciptakan oleh sesama makhluk (khususnya manusia), seperti patung-patung dan sebagainya maupun yang diciptakan oleh Tuhan (Allah), seperti gunung-gunung, matahari, api dan sebagainaya.
Pada masa itu pula kegelapan telah menyelimuti dunia seutuhnya. Negeri-negeri yang dahulu menguasai peradaban besar seperti Romawi, Yunani, Mesir, Persia, India, Cina telah terpuruk. Abad-abad itulah yang dikenal dalam sejarah sebagai abad pertengahan (middle ages), yang merupakan abad kegelapan.
Fakta sejarah menunjukkan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW telah menebarkan sinar pada dunia yang telah diselimuti kabut kegelapan, Islam telah mampu bergerak membawa peradaban yang cemerlang. Sayang pada masa kemudiannya sinar itu memudar, benarlah apa yang dikatakan salah seorang orientalis penulis buku ‘Humanisme Dalam Islam’, yang menyatakan bahwa kegagalan yang terjadi janganlah dinisbatkan pada Islam, melainkan hendaknya dinisbatkan pada ummat Islam, buya Hamka menulis buku berjudul ‘Sejarah Ummat Islam’ (4 jilid), beliau tidak menggunakan judul ‘Sejarah Islam’, sebab menurutnya banyak pula kedhaliman yang terjadi, misalnya kita buka sejarah pada tragedi di Padang Karbela, padahal itu bukan Islam, melainkan oleh sebab perilaku Ummat Islam.
Islam telah menarik kearah fithrah, kebutuhan dasar manusia adalah tuntunan hati, pola interaksi serta pola aturan. Maka itu Islam telah meluruskannya atas aqidah, akhlak dan syaria’ah, yang ketiganya merupakan satu rangkaian kesatuan. Benarlah apa yang dinyatakan seorang orientalis yang bernama HAR Gib bahwa Islam bukan hanya sekedar sistem teologi, melainkan meliputi peradaban yang lengkap. Teringatlah pula akan kisah salah seorang jurnalis Austria yang bernama Leopard Weis (waktu itu), pada saat ia meliput berita di timur tengah, ternyata ia sempat mengamati perilaku ummat Islam di saat shalat, lalu ia bertanya pada salah seorang imam masjid, ia bertanya, ‘wahai tuan, mengapa orang Islam dalam menyembah Tuhan kok macam begitu, berdiri, membungkuk, berjongkok dan seterusnya, bukankah Tuhan maha tahu kendatipun yang ada dalam hati manusia?, mengapa mesti macam-macam?; sang imam masjid menjawab ‘wahai tuan, bila Tuhan menciptakan manusia terdiri dari jiwa dan raga, maka apakah salah bila manusia itu menyembah Tuhan dengan jiwa dan raganya pula? (illustrasi bebas dari penulis). Atas jawaban sang imam masjid tadi kemudian menjadi bahan renungan L. Weis, dan kemudiannya ia memeluk agama Islam dan merubah nama menjadi Muhammad Assad. Allah berfirman yang artinya ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q:5:3)
Aqidah
Aqidah merupakan sistem keyakinan. Sistem keyakinan disebut dengan iman. Pokok-pokok keyakinan dalam Islam merupakan rukun iman yang terangkum dalam enam perkara, yaitu iman kepada Allah, para Malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Nabi dan Rasul Nya, Hari Akhir serta takdir baik dan takdir buruk’. (riwayat Buhari dan Muslim).
Aqidah merupakan roh, dari sinilah semua komponen ajaran agama Islam digerakkan, sebab bagaimana kita akan shalat, puasa, zakat, haji kalau iman kita kepada Allah, para malaikat Nya, kitab Nya, Nabi dan Rasulnya, hari akhir tidak ada?, bagaimana kita harus menjalani kehidupan kalau iman kita kepada qaha’ dan qadar Nya tidak ada?, dengan iman kepada takdir baik dan takdir buruk kita akan tahu tentang posisi kita, misalnya kita kaya, miskin, cobaan-cobaan yang menimpa kita dan lain-lain kita sandarkan kepada Allah SWT, sehingga kita terhindar dari kesombongan dan takabbur ataupun keputusasaan. Kita tidak akan mampu untuk menentukan nasib kita, la haula wa la kuwata illa billah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda, ‘Sesunguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rakhim ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah (sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah yang menggantung) selama itu pula, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan menyampaikan empat perkara, yaitu menulis rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya, akan menjadi orang sengsara atau bahagia’. Orang Jawa bilang ‘ilmu dapat ditiru, sedang nasib tak dapat ditiru’, orang Sumatera bilang ‘untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak’.
Islam mengajarkan tauhid (monotheisme), la ilaha illallah; la tusyrik billah (Q:31:13), tidak boleh mempersekutukannya dengan siapa dan apapun juga, oleh sebab itu maka dosa syirik adalah merupakan dosa besar yang tidak terampunkan, ‘sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu barang siapa dikehendaki-Nya, barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya’ (Q:4:116). ‘Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’ (Q:31:13).
Akhlak
Akhlak adalah keelokan berperilaku dalam berinteraksi, baik dengan al-Khalik maupun dengan sesama mahluk. Rasulullah bersabda ‘sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak’. Contoh akhlak dengan sesama, menggunjing saja (ghibah) tidak boleh (ghibah adalah gossip yang benar adanya, tapi jika seandainya orang yang digossip itu mendengarnya maka ia tidak akan menyukainya. Sedang kalau tidak benar namanya fitnah), jangan berburuk sangka, tebarkan salam, senyum saja dapat pahala, bertolong-tolongan atas kebaikan dan takwa, jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan.
Syariah
Secara termenologi istilah syariah telah diperdebatkan, ada yang hendak membedakannya dengan fiqh dan bahkan juga dengan hukum Islam. Namun dalam kesempatan ini tidak diulas, cukuplah kita gunakan kata syariah sebagai telah umum digunakan. Syariah merupakan system aturan dalam hubungannya dengan al-Halik maupun sesama makhluk dalam kerangka hukum atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat lima kategori hukum, yaitu wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Bidang syariah ini pada perinsipnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu bidang ibadah dan muamalah. Bidang ibadah di sini dimaksudkan sebagai ibadah mahdhah, hubungan transedental, hubungan dengan Allah, bidang ritual. Sedang muamalah adalah merupakan hubungan sesama manusia ataupun dengan makhluk selainnya. Ibadah dalam pengertian luas (ghairu mahdhah) mempunyai pengertian segala perbuatan baik yang disandarkan kepada Allah SWT, segala perbuatan baik yang disandarkan pada Allah SWT ganjarannya adalah pahala. Adapun hukum dasar daripada ibadah mahdhah adalah haram, tidak boleh dikerjakan kecuali terdapat nash yang menentukan lain, seperti misalnya shalat maghrib tiga rakaat, itu telah ada ketentuan dalam nash, bila seandainya karena ingin banyak pahalanya ditambah menjadi 5 rakaat, maka haram hukumnya. Di sinilah letak ketentuan sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, ‘Perkara terjelek adalah perkara yang baru, dan setiap ajaran yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat; dan setiap yang sesat itu tempatnya dalam neraka’. Disabdakan pula oleh Rasulullah SAW, bahwasanya barangsiapa mengerjakan amal tanpa perintah kami, maka tertolak’. Adapun yang berkenaan dengan perkara muamalah hukum dasarnya adalah boleh, kecuali terdapat nash yang menentukan lain, misalnya seperti makan-minum, babi haram sebab terdapat nash yang nenentukan demikian, demikian juga minuman keras, judi dan lain-lain. Di sinilah konteks sabda Rasulullah SAW, ‘engkau lebih tahu tentang urusan duniamu’.
Demikianlah sekedar kita pahami sebagian dasar ajaran Islam. Selanjutnya, untuk melengkapi pembicaraan ini, perlulah kiranya disinggung sedikit perihal problema yang dihadapi di negeri-negeri muslim atau dunia ke-tiga pada umumnya (developing country).
Rata-rata negeri-negeri dunia ke-tiga baru mulai eksis pada memasuki paruh (pertengahan) abad XX, yaitu setelah mampu melepaskan diri dari alam keterjajahan, itupun dengan harus mengalami berbagai rintangan baik dari dalam maupun luar, dari segala bidang, baik itu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahan maupun keamanan, problema sumber daya manusia yang harus membina dari titik nol koma, merajut mereka dari tingkat buta huruf yang amat luas, kesiapan mentalitas dari segala kejutan dalam menerima berbagai pengaruh alam luar yang telah terlebih dahulu melangkah maju, belum lagi problema infra struktur dan lain-lain, kuatnya berbagai tekanan dari bebagai kepentingan. Pertarungan ideologi di negeri-negeri muslim belum juga menjumpai titik temu.
Duania pendidikan pada umumnya diyakini sebagai sarana untuk mendongkrak dengan signifikan untuk melakukan ekslarasi kearah kemajuan, pendidikan dipahami sebagai kata kunci. Dunia barat telah banyak menyumbangkan bea siswa (scholarship) untuk di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan demikian bisalah dipahami bila telah terjadi sinergi yang signifikan (mutual-simbiosis) antara pola pikir timur dan pola pikir barat, antara Islam (agamis) dan barat (sekuler) pada kaum terpelajar muslim, dan mereka merupakan agen pembaharuan pemikiran yang bermuara pula pada aksi (gerakan) baik akademik, sosial, maupun penentu kebijakan. Sementara dunia Islam seperti Timur Tengah, Brunai dan sebagainya, bagaimana sumbangsihnya pada bidang ini?. Menarik pula untuk kita tilik sebuah buku yang ditulis oleh Amir Syakib Arselan yang berjudul ‘Limadza ta’kharal Muslimun wa Limadza takaddama ghairuhum’.
Bagaimana sikap masyarakat dunia ketiga (dhi baca: Islam) di perantauan, khususnya di negara-negara maju?, menarik untuk mengingat dan mengambil manfaat dari pesan Deng Sio Ping yang mengandung falsafah tinggi itu kepada masyarakat Cina perantauan yang intinya yaitu hendaknya menjadi sebagai jembatan penghubung; lita’arafu, untuk merajut kemajuan bersama.
Share this Article on :
Sabtu, 25 Mei 2013
Jomblo Atau Pacaran???
Jomblo Atau Pacaran?
Jomblo itu…ASYIK!
He-eh. Bener. Kamu gak salah baca, tuh!
Jomblo itu… asyik!
Nah, bener kan kamu gak salah baca? Eheheh.
Hidup sendiri itu menyenangkan! Uhhuyy~ Eh, tapi gak seumur hidup jugak maksudnya, eheh.
Banyak alasan yang bagus buat nolak “aktivitas” pacaran. Banyak temenku bilang, pacaran itu enak. Bisa jadi motivasi buat belajar. Bisa jadi motivasi buat ngerubah diri jadi lebih baik. Sekarang, liat mereka yang termotivasi. Pada akhirnya, buat siapa mereka ngelakuin semua itu? Buat mereka sendiri atau buat pacar mereka? Kalo berhasil, siapa yang bakal dibuat kagum sama mereka? Pacar mereka? Kenapa gak orang lain juga? Kenapa gak nunjukin ke semua orang kalo mereka bisa jadi yang terbaik? Nah, kalo emang punya niatan buat nunjukin ke semua orang, kenapa harus karena pacar? Kenapa harus pacaran? Bakal sia-sia juga ngabisin waktu buat itu. Dapet manfaat apa? Cuma rasa seneng yang sementara kan? Kok aku bilang sementara? Iya-lah! Soalnya abis rasa seneng itu, mereka kadang jadi susah karna pacarnya bisa aja bawel, sok ngatur-ngatur, semaunya sendiri, dan sebagainya, dan sebagainya.
Kok aku tau? Katanya jomblo?
Iya, donk. Soalnya, yang cerita ke aku soal pacarnya, gak semuanya cerita seneng-senengnya aja. Gak enaknya juga mereka certain. Banyak malah. Kebanyakan pada padah hati (lah kok masih suka aja pacaran?). Apa ini yang bisa didapet dari pacaran? Hoho, tiba-tiba nilai anjlok, gak semangat hidup, gak enak makan, gak mau tidur.. yeh, malah jadi lebay gitu yak? Kenapa motivasi jadi nol? Apa karna gada yang mau “liat” ? Ngerasa : pacar aja gak peduli, apa lagi orang lain?
Kalo itu terjadi sama kamu, jangan salah yak! Justru masih banyaaaak banget yang masih peduli sama kamu. Liat aja sahabatmu yang masih mau ngelus punggungmu. Liat aja gurumu yang masih mau ngasih motivasi buat kamu. Mereka gak bakal gitu kalo mereka gak sayang sama kamu. Eh, tapi kamu, malah nangisin pacarmu yang gatau kemana. Yahhh, jangan sampe deh. Masih ada banyak hal yang harus kamu lakuin. Hidup gak cuma buat pacaran, ‘kan? Ada waktunya sendiri kalo kita udah nikah ntar…
Satu nih yang penting. Cinta sama nafsu itu beda. Pacaran itu, karna kita pengen jadi milik dia atau dia jadi milik kita. Berarti, kita tergoda nafsu tuh.Nafsu apa? Buat memiliki. Pacaran itu keinginan kita. Hmm, kalo menurutku sih keinginan duniawi itu juga bagian dari nafsu. Kalo cinta, itu suci. Inget kan? Jadi kita gak mungkin sakit karna cinta. Sakitnya itu, mungkin bagian dari penyakit hati. Kok? Iya, soalnya kita gak bisa ngedapetin apa yang kita pengenin (untuk memiliki/pacaran).
Kalo emang cinta gimana? Ohoho, cinta itu nyenengin, kooook, gak bikin susah. Jadi kalo emang kita cinta, minta aja sama Allah, “Semoga dia jodohku.” Ga sulit ‘kan? Kita ‘kan bisa minta sama Allah sebanyak yang kita mau. 5 kali sehari. Masih ditambah sama waktu-waktu lain yang disunnahin. Abis sholat, terus do’a. Kalo emang jodoh, gak bakal kemana-mana kok. Mesti ketemu juga. Mesti bakal nyatu juga.
Lah, kalo enggak gimana?
Ya berarti dia bukan yang terbaik buat kamu. Masih ada yang lebih dan lebiiiiiihhhh baik lagi buat kamu. Inget gak, Allah pernah bilang kalo kita bakal ketemu jodoh yang baik-baik kalo kita juga baik-baik?
Nah, sekarang pilih mana?
Jomblo atau pacaran?
Hehe.
Jomblo itu enak, kok. Bisa ngelakuin apapun tanpa harus nurutin apa kata pacar. Jomblo itu bebas. Dan jomblo itu pilihan. Hehe, bukan berarti gak laku. Lagian, laku gak laku juga udah ada jodohnya semua. Jangan disbanding-bandingin, makanya. ‘Kan udah ditakdirin sebelum kita lahir tuh? (Berarti harusnya gausah ada istilah laku ga laku yak? *eh? siapa yang jualan?*)
Oya, buat postingan tentang cinta yang pernah aku buat dulu, itu sebenernya bukan karna emang aku gasuka cinta yak. Heheh. Itu lebih karna aku takut jatuh cinta. Taku aku salah ngartiin antara cinta sama nafsu. Kalo pengertiannya jadi satu, ‘kan bisa gawat tuh. Aku takut ngatain nafsu jadi “cinta”. Makanya aku takut jatuh cinta. Dan akhirnya aku bilang jatuh cinta itu nggak enak. Hoho.
SALAF (IBN HANHAL DAN IBN TAIMIYAH) Sejarah Singkat Imam Hanbali
Top of Form
SALAF (IBN HANHAL DAN IBN TAIMIYAH)
Sejarah Singkat Imam Hanbali
Beliau adalah
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti
bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau
masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya
pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau,
Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur
tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi
wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke
dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan
penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang
panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad
tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah
binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki
ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad
telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis
ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits,
tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu
sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian
beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari
para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau
mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad
tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau
terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota
itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin
Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim
sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun
186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke
negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau
temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama
tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu
dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin
‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi
Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”
Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi
fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya
(ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil
ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu
Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar
enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama
kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan
muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud,
kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah
dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara
‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan
Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i
pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir
hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman,
tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang
kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya
menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam
Ahmad menolaknya.
Suatu hari,
Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu
tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau
tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau
Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada
ahlinya.
Imam Syafi‘i
juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku
tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab
al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin
Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan
keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan
menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak
pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui
bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai
salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di
Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi
keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan
cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan
rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan
mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku
falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari
penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke
dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat
menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah,
Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari
Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu
mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat
mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk
sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212,
Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka,
untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang
berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh,
“Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita
kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk.
Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya
akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang
pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan
al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok
mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan
berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa
kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai
mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak
terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian
itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun
yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota
maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan
yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka
yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad.
Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu
kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun
bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad
bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring
ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam
perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke
Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian
al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran
dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam
Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali
ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an
bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan
kaki terbelenggu.
Selama itu
pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah
kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau,
dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki
beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan
bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan
Wafatnya
Pada
akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah
kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan
kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras.
Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya,
Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar
mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang
lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah
al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke
seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia
juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits
tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun
dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya
itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya
dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan
Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan
pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan
pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan
ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan
antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian
ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran
yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan
kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama
ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
|
|
Sejarah singkat Ibnu Taimiyah
Nama lengkap
Ibnu Taimiyah adalah Taqiyudin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah.Dilahirkan di
Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H,dan meninggal
dipenjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.Kewafatannya
telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus,Syam,dan Mesir,seerta kaum
muslimin pada umumnya.Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin
Abdussalam ibnu Abdullah bin Taimiyah,seorang Syeikh,Khatib,dan Hakim
dikotanya.
Dikatakan oleh
Ibrahim Madzkur bahwa Ibnu Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim
karna kurang memeberikan ruang gerak leluasa kepada akal.Ia adalah murid yang
mutttaqi ,waara’ dan zuhud,serta seorang panglima dan penentang Tartas yang
berani,selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits
mufassir,faqih,teolog,bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.Ia
telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib,ia juga menyerang
Al Ghazali dan Ibnu Arabi,keritikannya ditujukan pula kepada kelompok-kelompok
agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya.Berulang kali Ibnu
Taimiyah masuk kepenjara hanya karna besengketa dengan para ulama sezamannya.
Ibnu Taimiyah terkenal
sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun,ia telah dipercaya masyarakat untuk
memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hokum secara resmi.para ulama
yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya dan merasa iri hati terhadap
kedudukannya di istana Gubernur Damaskus,telah menjadikan pemikiran-pemikiran
Ibnu Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya.
·
Pemikiran
Teologi Ibnu Taimiyah
Pikiran-pikiran
Ibn Taimiyah,seperti dikatakan Ibrahim Madzkur,adalah sebagai berikut :
a.Sangat
berpegang teguh pada nas (teks Al-Qur’an dan Hadits)
b.Tidak
memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c.Berpendapat
bahwa Al-qur’an mengandung semua ilmu agama
d.Di dalam
islam yang diteladani ada 3 generasi saja,(sahabat,tabi’in,tabi’i tabi’in)
e.Allah memiliki
sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan Nya.
Ibnu Taimiyah
mengkritik imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu
qadim,kalamnya qadim pula.Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah
keterpaksaan dalam ikhtiar manusia,yaitu, Allah pencipta segala sesuatu,hamba
pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara
sempurna,sehingga manusia bertanggung jawabterhadap perbuatannya.Allah meridhoi
perbuatan yang baik dan tidak meridhoi perbuatan yang buruk.
Langganan:
Postingan (Atom)